Beranda | Artikel
Bolehkah Berobat dengan Arak?
Kamis, 21 Januari 2010

Bolehkah kita berobat dengan arak?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.

Para pengunjung setia Rumaysho.com, alhamdulillah pada tulisan kali ini kita akan melanjutkan kembali pembahasan mengenai khomr dan alkohol dalam tema yang kami angkat “Menjawab Kerancuan Seputar Alkohol”. Dalam tulisan yang berseri ini, insya Allah kami angkat mengangkat pembahasan Alkohol sesuai tinjauan kimia yang merupakan background pendidikan kami dan juga kami akan jauh membahas dari sisi agama sesuai dengan pendalaman ilmu kami.

Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai penggunaan arak (miras), apakah diperbolehkan digunakan sebagai obat. Ingat, ini adalah pembahasan arak dan bukan pembahasan alkohol dalam obat-obatan dan antiseptik. Insya Allah pembahasan tersebut akan datang pembahasannya tersendiri.

Kami harap para pengunjung bisa menyimak tiga tulisan sebelumnya: [1] Mengenal Apa Itu Khomr, [2] Bersekongkol dalam memproduksi khomr, dan [3] Apakah Khomr itu Najis?

Simak tulisan lanjutan.

***

Dalam pengobatan Cina tradisional arak bersifat menghangatkan dan melancarkan sirkulasi darah sehingga bisa memperkuat efek pengobatan. Lebih-lebih pada kasus penyakit ‘yin/dingin’ dan gangguan sirkulasi darah.[1]

Bagaimanakah tinjauan Islam mengenai pengobatan dengan arak?

Perlu diketahui, mayoritas ulama mengharamkan berobat dengan khomr (yaitu sesuatu yang memabukkan) seperti arak. Alasan terlarangnya hal ini adalah sebagai berikut.

Pertama: Hadits Thoriq bin Suwaid Al Ju’fiy

Thoriq bin Suwaid Al Ju’fiy pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai khomr. Kemudian beliau melarang atau tidak suka untuk menggunakannya. Kemudian Thoriq mengatakan bahwa khomr itu hanya akan digunakan sebagai obat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

Sesungguhnya khomr bukanlah obat, namun sebenarnya dia adalah penyakit.[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Inilah dalil tegas yang melarang berobat dengan khomr dan sebagai bantahan kepada orang yang membolehkannya. Begitu pula dengan benda-benda haram lainnya berlaku demikian (terlarang digunakan untuk berobat) dengan alasan qiyas (analogi). Hal ini berbeda dengan orang yang membedakan antara keduanya.”[3]

Sungguh sangat aneh jika ada sebagian dokter muslim yang membolehkan berobat dengan khomr (arak) sedangkan Nabinya sendiri mengatakan bahwa khomr itu adalah penyakit!

Kedua: Hadits Abu Darda’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّوَاءَ وَأَنْزَلَ الدَّاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامِ

Sesungguhnya Allah menurunkan obat dan Dia juga menurunkan penyakit. Allah menjadikan obat pada setiap penyakit. Oleh karena itu, berobatlah. Namun janganlah kalian berobat dengan yang haram. ”[4]

Ketiga: Hadits Abu Hurairah

Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ بِالْخَبِيثِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menggunakan obat yang khobits (kotor).[5]

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya berobat dengan yang haram secara umum dan menunjukkan pula terlarangnya menggunakan khomr (arak) secara khusus.

Satu kerancuan

Mungkin ada yang menanyakan, “Kenapa dalam masalah pengobatan dengan khomr tidak masuk dalam kaedah Ushul Fiqih: “Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang”?”[6]

Jawabannya:

Pertama, berobat bukanlah termasuk perkara darurat dari berbagai pendapat ulama yang lebih kuat dan berobat bukanlah suatu kewajiban menurut mayoritas ulama. Sampai-sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَلَسْتُ أَعْلَمُ سَالِفًا أَوْجَبَ التداوي

“Aku tidak mengetahui satu ulama salaf (ulama terdahulu) yang mewajibkan untuk berobat.”[7]

Syaikh Muhammad bin ‘Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah mengatakan,  “Hukum asal berobat adalah dibolehkan, namun bukanlah wajib. Maka tidak boleh seseorang berobat dengan yang terlarang karena alasan melakukan sesuatu yang dibolehkan.”[8]

Dalil pendukung hal ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas  mengenai wanita hitam yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

فَقَالَتْ إِنِّى أُصْرَعُ ، وَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِى . قَالَ « إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ » . فَقَالَتْ أَصْبِرُ . فَقَالَتْ إِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ ، فَدَعَا لَهَا .

Wanita tersebut mengatakan, “Aku sering menderita penyakit ayan sehingga auratku sering terbuka. Berdoalah pada Allah untuk kesembuhanku.” Beliau berkata, “Jika engkau mau, bersabarlah maka bagimu surga. Dan jika engkau mau, aku pun akan berdo’a kepada Allah untuk kesembuhanmu.” Wanita tersebut mengatakan, “Kalau begitu aku memilih untuk bersabar. Sesungguhnya auratku sering tersingkap (ketika ayan), maka berdoalah pada Allah agar auratku tidak tersingkap ketika itu.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan wanita tadi (agar auratnya tidak tersingkap).[9]

Seandainya berobat itu wajib, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memberi pilihan dalam hadits di atas.

Asy Syaukani mengatakan, “Tidak berobat lebih utama jika seseorang mampu untuk bersabar.”

Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon mengatakan, “Lebih utama jika seseorang mampu untuk bersabar. Alasannya karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jika mau, engkau lebih baik untuk bersabar.” Namun jika tidak mampu untuk bersabar terhadap sakit yang diderita dan merasakan sempit ketika menahan sakit, dalam kondisi ini berobat lebih utama karena keutamaan tidak berobat dapat sirna jika tidak mampu bersabar.”[10]

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan mengenai haramnya berobat dengan khomr, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits yang telah lewat.[11]

Kesimpulan: Khomr (contoh arak) tidak boleh digunakan untuk berobat.

Ingat, pembahasan ini berbeda dengan pembahasan menggunakan obat atau antiseptik yang mengandung alkohol. Insya Allah akan datang penjelasannya mengenai hal yang dimaksud.

Semoga Allah memudahkan pembahasan selanjutnya, yaitu mengenai alkohol dalam tinjauan kimia.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Teknik Kimia UGM 2002-2007)

Artikel Rumaysho.com

Seorang chemical engineering pun bisa memberikan kontribusi dalam agama

 

Baca Juga:

Footnote:

 


[1] Sumber bacaan: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=120307

[2] HR. Muslim no. 1984, dari Wa-il bin Hujr

[3] Majmu’ Al Fatawa, 21/568.

[4] HR. Abu Daud no. 3874. Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyah 2/336 mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Asy Syaukani dalam Ad Durori Al Madhiyyah hal. 353 mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini Isma’il bin ‘Iyas.

Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashobih 4464 mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if, namun bagian kalimat pertama dinilai shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi).

[5] HR. Abu Daud no. 3870, Ibnu Majah no. 2802, At Tirmidzi no. 2045 dan Ahmad 15/193. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[6] Pembahasan ini adalah sanggahan terhadap pernyataan Yusuf Qardhawi yang mengatakan, “Walaupun demikian, kalau sampai terjadi keadaan darurat, maka darurat itu dalam pandangan syariat Islam ada hukumnya tersendiri. Oleh karena itu, kalau seandainya arak atau obat yang dicampur dengan arak itu dapat dinyatakan sebagai obat untuk sesuatu penyakit yang sangat mengancam kehidupan manusia, dimana tidak ada obat lainnya kecuali arak, dan saya sendiri percaya hal itu tidak akan terjadi, dan setelah mendapat pengesahan dari dokter muslim yang mahir dalam ilmu kedokteran dan mempunyai jiwa semangat (ghirah) terhadap agama, maka dalam keadaan demikian berdasar kaidah agama yang selalu membuat kemudahan dan menghilangkan beban yang berat, maka berobat dengan arak tidaklah dilarang, dengan syarat dalam batas seminimal mungkin.” (Sumber: http://www.halalguide.info/2009/03/05/khamar-adalah-penyakit-bukan-obat/comment-page-1/#comment-512 )

[7] Majmu’ Al Fatawa, 21/564.

[8] Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, 3/139, Asy Syamilah

[9] HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576.

[10] Lihat Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 2/353, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1422 H.

[11] Pembahasan ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, 2/391 dengan beberapa tambahan.


Artikel asli: https://rumaysho.com/799-bolehkah-berobat-dengan-arak.html